Dongeng karangan C.S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe diangkat ke layar lebar. Novelnya disebut majalah Time sebagai salah satu dari 100 novel terbaik abad 20. Di Barat sana, novel keluaran 1950 itu telah memikat jutaan pembaca. Sayang, di sini masih kalah populer dengan Harry Potter. Benarkah kisahnya membawa nilai-nilai Kristiani?
Oleh Ade Irwansyah
Dulu ada kakak beradik bernama Peter, Susan, Edmund, dan Lucy. Kisah ini bercerita tentang apa yang terjadi waktu mereka dikirim keluar London karena sering terjadi serangan udara di sana (waktu itu Perang Dunia II tengah berlangsung). Mereka tinggal di rumah seorang profesor tua di pedesaan. Suatu ketika, si bungsu Lucy menyelinap sendirian ke sebuah kamar kosong. Di kamar itu cuma ada lemari pakaian besar. Lucy tergerak buat mencari tahu apa yang ada dalam lemari. Ia masuk ke dalam dan membiarkan pintunya terbuka—karena ia tahu sungguh bodoh jika membiarkan dirinya sampai berada dalam lemari tertutup, apalagi sampai terkunci di dalamnya.
Semula Lucy cuma merasakan mantel-mantel bulu, semakin jauh melangkah ia tercekat. Terasa ada yang berderak karena terinjak kakinya. Dia kemudian membungkuk dan meraba ke bawah kakinya. Ternyata tangannya tak menyentuh dasar lemari kayu yang keras, melainkan sesuatu yang lembut, seperti bubuk, dan terasa sangat dingin. “Aneh sekali,” katanya dalam hati. Sejenak kemudian Lucy menyadari bahwa yang membelai wajah dan tangannya bukan lagi bulu-bulu mantel yang halus, melainkan sesuatu yang keras dan kasar, bahkan rasanya berujung tajam. “Lho, seperti ranting pohon!” seru Lucy.
Kemudian tampak olehnya seberkas cahaya di depan. Bukan hanya beberapa sentimeter di hadapannya sebagaimana seharusnya ia berada di dinding lemari, akan tetapi nun di kejauhan sana. Sesuatu yang dingin dan lembut menimpanya. Sesaat kemudian baru Lucy menyadari bahwa ia kini berada di tengah sebuah hutan, di malam hari. Kakinya menginjak es, sementara butiran salju terus berjatuhan di sekelilingnya.
Demikian C.S. Lewis melukiskan saat Lucy pertama kali tiba di Narnia—negeri dongeng rekaannya, tempat yang diselimuti salju musim dingin selama seratus tahun namun Natal tak pernah datang karena kutukan Penyihir Putih. Dongeng itu lahir di masa Perang Dunia II. Kala itu, banyak anak-anak London dikirim keluar kota oleh orangtuanya buat menghindari serangan udara Nazi Jerman yang semakin mengganas. Di antara anak-anak itu ada 4 orang anak yang dikirim buat tinggal bersama Lewis di Kilns, wilayah pedesaan luar kota London. Lantaran terkesan pada daya khayal tamu-tamu kecilnya, Lewis yang profesor sastra di universitas Oxford (di sana Lewis berteman dengan JRR Tolkien, pengarang The Lord of the Rings) tergerak buat menulis kisah tentang 4 orang anak—waktu itu ia menamai mereka Ann, Martin, Rose, dan Peter—yang dikirim orangtuanya buat tinggal bersama seorang profesor tua.
Kala itu Lewis yang akrab disapa Jack cuma menulis kalimat pembuka di atas. Beberapa tahun kemudian ia kembali lagi menengok kisah itu. Tulisnya, anak-anak itu (ia mengganti nama mereka jadi Peter, Susan, Edmund, dan Lucy) menemukan jalan menuju dunia lain—dunia yang dinamainya Narnia. Syahdan, kisah petualangan 4 kakak beradik keluarga Pevensie itu dibukukan pada 1950 dengan judul The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe dengan tambahan ilustrasi Pauline Baynes. Kemudian kisah dari negeri Narnia berlanjut jadi 6 buku lain, yakni: The Magician’s Nephew, The Horse and His Boy, Prince Caspian, The Voyage of the Dawn Treader, The Silver Chair, dan The Last Battle.
Kalah pamor dari Harry Potter?
Di barat sana, kisah dari negeri Narnia telah memikat jutaan anak-anak. Majalah People menyebut novel-novel kisah negeri Narnia laku 85 juta kopi di seluruh dunia. Sedangkan situs majalah Time menyebut The Lion, the Witch, and the Wardrobe di daftar 100 novel terbaik abad 20. Konon pula, JK Rowling sang pengarang kisah Harry Potter mengail ide dari Lewis. Rowling tak menampik ketika kecil getol membaca cerita-cerita fantasi, termasuk karya Lewis. The Lion... buku favorit Rowling dari seluruh kisah negeri Narnia.
Akan tetapi, nama Lewis kalah pamor buat pembaca sini dibanding Rowling. Kalau buku-buku terjemahan Harry Potter sudah dicetak belasan kali setiap edisi, buku terjemahan Lewis yang diterbitkan Gramedia (penerbit sama dengan kisah Harry Potter) baru masuk cetakan kedua. Itu artinya, kalau sekali cetak rata-rata berjumlah 3 ribu buku, totalnya baru 6 ribu yang dicetak. Padahal, Lewis sudah lebih dulu menyapa pembaca Indonesia ketimbang Rowling. Asal tahu saja, buku terjemahan Harry Potter pertama, Harry Potter dan Batu Bertuah pertama kali diterbitkan 2000 lalu. Sedangkan kisah negeri Narnia pernah diterbitkan lengkap oleh penerbit Dian Rakyat pada 1992. Bisa jadi, waktu itu tak banyak orang tahu siapa C.S. Lewis, pengarangnya. Nah, seiring seri pertama Narnia difilmkan tahun ini, Gramedia menerbitkan lagi ketujuh seri itu lengkap.
Kisah dongeng dari negeri Narnia ditujukan buat pembaca anak-anak. Lantaran ditujukan buat pembaca cilik, kisah Narnia dibuat Lewis amat sederhana. Makanya, novel Narnia lebih tipis. Versi filmnya yang tengah di putar pun ditujukan buat anak-anak. Maaf saja, kalau ingin melihat keganasan makhluk semisal Orc atau troll sebaiknya menonton trilogi Lord of the Rings saja. Jangankan ada adegan kepala putus diterjang gada, seberkas darah muncrat pun tak nampak di layar yang cerah ceria—bukan gelap kelam. Bahkan, sebenarnya, sang sutradara Andrew Adamson terbilang menambahi adegan peperangan di film ini buat kepentingan cerita biar tambah seru ditonton. Sebab, di novelnya adegan peperangan cuma disinggung sedikit sekali.
Seperti halnya Lord of the Rings, kisah pertama dongeng Narnia yang diangkat ke layar lebar ini, The Lion... mengambil lokasi syuting di Selandia Baru. Di sana, Adamson membangun ulang dunia Narnia dalam hutan buatan seluas lapangan bola plus animasi komputer buat menghidupkan makhluk fantasi semisal faun, unikorn, centaur, atau Aslan sang singa perkasa penguasa Narnia.
Saat mengambil gambar Georgia Henley, pemeran Lucy, masuk ke negeri Narnia pertama kali, Georgia ingat betul kalau dibimbing selangkah demi selangkah menuju Kelly Park, sebuah kebun raya di Selandia Baru tempat hutan buatan Narnia dibuat. “Mata saya ditutup, dan begitu dibuka, saya sangat terkesan,” kata Georgia. “Jadi, reaksi Lucy waktu pertama kali masuk Narnia benar-benar reaksi saya sendiri.”
Georgia tak sendirian dipenuhi kesan. “Pembuatan film ini sendiri mirip perjalanan lewat lemari menuju dunia baru,” komentar Anna Popplewell, pemeran Susan. “Pergi melanglang buana ke negeri yang jauh, melakukan hal-hal aneh. Sangat menggembirakan, sekaligus sedikit menakutkan,” tambah William Mosley, pemeran Peter, saudara kandung Susan. “Kami (berempat) merasa seperti kakak beradik benaran. Kami jadi merasa dekat.”
Buat Adamson yang menyutradarainya, syuting The Lion... merupakan langkah besar buat kariernya. Adamson baru berpengalaman membuat dua film panjang, Shrek dan lanjutannya, Shrek 2. Dua film itu total dibuatnya di alam maya lantaran semuanya animasi komputer. “Di film animasi, sebagai sutradara, harus memikirkan semuanya,” catat Adamson, “Sutradara harus memikirkan kedipan, debu, atau hujan yang mesti turun. Sedang di film hidup semua hal itu bisa didapat gratis,” lanjutnya lagi menjelaskan.
Adamson menjelaskan pula butuh waktu 2,5 tahun buat menghidupkan Aslan sang singa lewat rekaan komputer. “Saya ingin Aslan benar-benar terlihat nyata secara fisik, hingga penonton betul-betul percaya kalau tokoh itu memang ada. Penonton menerimanya sebagaimana adanya, kehadirannya di layar jadi sangat terasa,” jelasnya.
Namun, punya singa rekaan komputer bertampang asli saja baru setengah memenangi pertarungan. Aslan juga butuh suara kuat buat mendukung tampangnya. Pilihan Adamson jatuh pada aktor Liam Neeson (Schindler’s List, Batman Begins, Kingdom of Heaven). “Liam sendiri yang minta peran itu. Dia datang dan menawarkan diri buat membaca naskah di depan saya. Tapi mendengarkan suaranya di telepon saja, saya sudah merasakan gema, kehangatan yang benar-benar cocok buat mengisi suara Aslan,” kata Adamson penuh kesan.
Crated by : writer's cut
cerita tentang kita :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Subscription
Search this blog
Blogroll
Popular Posts
-
Galau.. Kata inilah yang sedang menjadi tren di sekitaran ABG. Bahkan salah satu operator telekomunikasi di Indonesia mengeluarkan produ...
-
Sejarah Pada bulan Desember 1969, manga Doraemon terbit berkesinambungan dalam 6 judul majalah bulanan anak. Majalah-majalah tersebut ada...
-
...based on true story of everyone... Film komedi romantis ini bercerita tentang seorang gadis bernama Nam (Pimchanok Lerwisetpibol), seor...
-
kurangnya perhatian kaum muda kepada lansia kini sudah merajalela di mana-mana sebagai contoh foto di bawah ini adalah foto yang mencermink...
-
awal pertemuaann :: awall pengalaman,awal cerita baru :)) jelajahh alamm pertama di kelas 7 :) semua masihh unyu2 haha :D masihh culun...
-
Flash Mob dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang berkumpul pada waktu dan tempat yang telah ditetapkan untuk melakukan suatu hal sepe...
-
Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang in...
-
anggia orang jawa aslii tapii ga tauu bahasa jawa *nah loe? #pernah di panggill "so cute" ama temen2 . arthur Firnandoo biasa di...
-
diruang sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU thdp seorg nenek yg dituduh mencuri singkong, nenek it...
-
Dongeng karangan C.S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe diangkat ke layar lebar. Novelnya disebut majala...
About Me
- dominiq~ismilinda
- I was born in palembang(sumatera selatan-indonesia) 17-01-1998 I like listen to music,singging and the other, I hope with this blog i can add new friend's and new experience :D soo enjoyed :D
Thank's to visit :D
Arsip Blog
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar